1


Hanya kata sepatah dua patah, selintas tak perlu ditanggap hati. Sungguhpun tak berarti bukan berarti tak berisi. Penting atau tidak toh terlanjur tertulis,tak salah juga sedikit dinikmati.

..

Another Construction Workers

Kamis, 28 Januari 2010

Ada lagi nih... ck... ck...ck...











Indonesian Contruction Workers

Saya selalu berdecak kagum menyaksikan dedikasi dan totalitas kerja orang-orang ini. Bagi saya pekerjaan mereka adalah sesuatu yang luar biasa, meski banyak orang memalingkan wajah terhadapnya...















Dua Bayangan

Selasa, 26 Januari 2010

dua bayangan dalam debu
larut dalam bisu dan karat rindu
semua kegelapan tak menentu.
hanya alir dan resah waktu
yang mencumbu kesepian.

malam bicara dengan bahasa kekalutan.
bahasa kerinduan manusia
yang mereka ukir sendiri dalam
kentalnya kekosongan dan kepekatan.
dua wajah malam berjalan sempoyongan.
dua bayangan yang menjagai kekalutan
dan kemabukan, menyatakan diri dalam
jasad pahlawan di kuburan atau
korban-korban kekerasan malam.

kalian seperti mimpi yang tak pernah hilang.
"bukan, kami adalah jasad-jasad kekecewaan."
semua harapan yang tak pernah
ditakdirkan pecah dalam partikel
kegelapan yang mereka namakan:
bayangan, semua kerinduan yang
tercermin di belakang cahaya
dan punggung manusia

"kau bicara tentang kami?"
ya. tentang kalian, dua kerinduan
dalam semua khayalan yang saling
mencumbu dan mengerat dusta dalam kegelapan,
saling menunggu lelap satu sama lain
saling menunggu kesempatan menikam yang lain.

Simpang Jalan: Kau dan Aku

Senin, 18 Januari 2010

kau seperti hujan
pada malam seribu penantian.
detakmu yang berguguran
meluluhi bumi seperti derap
kepergian serdadu yang berangkat
menuju kuburan.

bulan menjemput malam.
senyumnya dalam deru tirai hujan
tiada tertahan. tak ada kehilangan.
tidak juga keputusan.
sekalipun kau yang mengujarnya
hanya kesunyian yang kau
pecahkan.

kau dan aku
berhadapan di simpang
jalan yang selalu kutuju,
selalu kurindu.
pulanglah.
mungkin aku akan
menjemputmu saat kudapati
tak ada purnama di ujung jalan itu.

habis try out Bahasa Indonesia
18-1-2010

Pulauku

di wajahmu ada laut biru
juga seribu burung yang
berkepak menjauh, melintasi
masa lalu, pun rona-rona
kesedihan kita yang tak pernah
kau ucapkan

"turunkan aku. aku ingin
pulang ke rumah bambu. ke pulau
sunyi dengan serangga beribu. cakrawala
mimpi dan bau asin laut.
riang pohon kelapa dan semua keabadian
kenangan itu."

maafkan aku. kepulanganmu yang
lama kita bicarakan bukan lagi rencana.
kini, setelah semua berlalu,
kita hanya bisa meratapi semua
peninggalan ibu.

"kalau begitu sisakan tulang-tulangku
menjadi miliknya. aku ingin tingal bersama pulauku."

nanti... aku belum selesai mengusap semua lukamu.


17-1-2010
melantur siang-siang

Kegelapan: Senandung dan Doa

Sabtu, 16 Januari 2010

Eleana bertanya padaku:
"kau suka bernyanyi, Asta?"
"tidak. tapi senandungmu lebih terdengar seperti doa bagiku.
kalau kau mau aku akan menemanimu berdoa malam ini."
ia tidak suka aku menebak apa yang ada di
balik tirai matanya terlalu cepat. desir geleng kepalanya.
sudut kerut bibirnya yang pilu. mata cokelatnya yang beku
dan basah. lebih dari suatu pertanda malang bagiku.
sementara itu bulan sabit mengawasi kami dari sudut-sudut bisu.

"malam ini akan segera berakhir.
masa' kau tidak mau menyanyikan satu lagu untukku?"
"aku kenal malam ini juga matinya senja sore tadi.
ia masih akan menemani kita lebih lama dari yang kau
bayangkan. dan aku juga tahu malam di hatimu pun juga
tak pernah lewat. tidak secepat itu."

aku tahu.
aku selalu tahu kalau Eleana membenci matahari
sama seperti aku membencinya. matahari tak
meberi ruang bagi kami untuk bercerita.
tak ada pagi dengan kata-kata.
dunia tanpa nada terlalu seram untuk
kami tinggali. aku hanya bisa menampung
air matanya pada puisi-puisiku. puisi yang penuh
kata-kata patah tentang ketiadaan dan kematian.

"kau tahu lebih banyak dari yang kuduga."
"aku hanya mengatakan padamu hal-hal
yang tertulis pada malam yang sama di hatiku.
bau kecupanmu yang penuh kesengsaraan.
lekuk tubuhmu yang tak pernah beranjak dariku.
dan lintang leherku yang serapuh senyummu.
juga semua hal lain yang kau torehkan perlahan di muka jiwaku,
ya, semua kehilangan itu."

"bau kematian menyeruak, menghapiriku...,"isaknya.
"tidak hanya kau. aku sudah merasakan nafasnya di leherku sejak tadi.
kita berdua ditakdirkan lenyap, moksha menjadi serpihan jiwa-jiwa.
hanya debu-debu tak terkira di gurat-gurat malam dan cakrawala"
"kemarilah. maukah kau bersenandung menyertai doa-doaku?"
"............. bawa ini, ini puisiku... untukmu..."


"lantas apa lagi yang dikatakan malammu padamu?"
"kita tidak bisa segera pulang. maafkan aku..."



16 Januari 2010
di warnet

Naskah Drama : PENCURI

Jumat, 15 Januari 2010


Adaptasi bebas dari cerpen “Pencuri” karya Julius R. Siyaranamual

Babak I

Senja menjelang malam, seorang pria tua berjalan ringan, langkahnya tenang, tidak dibuat. Tatapannya lurus ke depan. Ia melewati kampung-kampung, kebun-kebun tak terawat dan ganggang kumuh. Ia diikuti dua sosok “Suara Hati” dan seorang “Pemusik Agung”. Sosok ini tidak kelihatan tapi melukiskan isi hati pria tua. Yang satu dengan musik yang berjalan pelan dan yang lain dengan puisi.


Pemusik Agung: Malam menyela, bintang menepi. Segenap mata dunia diresah dahaga. Dahaga apa? Dahagamu manusia… oh manusia… (diiringi musik)

Suara hati 1: Aku melewati malam yang membara. Kampung yang merana. Menyelami liku kesakitan manusia Saat bulan bekerja, bintang terjaga, aku…aku… aku melihatnya, melihatnya, melihatnya. Itu, Itu, itu… (antusias)

Suara hati 2: Rumah dengan dua puluh mobil! Terasnya benderang akan cahaya lampion kristal. Malam bersuka di dalamnya. Pesta berbunga di ruangnya. Musik yang menyentak, bertalu, hiruk pikuk dunia dalam nafasnya. (rasional dingin)

Suara hati 1: Hai! Dari sini bisa kulihat segala sudutnya. Kupelajari selama puluhan malam. Kuhabiskan seribu senja mengupasnya. Aku melihatnya, melihatnya, melihatnya! Seluruh rimbun tanamannya, segenap indah perabotnya dan tebal dompet mereka dapat kubayangkan.

Suara hati 2: Tidak usah buru-buru. Aku menghabiskan semua hari mempelajarinya. Aku antusias, tapi tidak bodoh. Menurut pengalamanku, tak ada gunanya beraksi tanpa kesiapan hati. Aku kuat menunggu berjam-jam sekalipun. Naluriku tidak pernah salah. Saat kurasa ada yang tidak beres, aku tak sungkan membatalkan niat yang lama kurancang.


Pencuri masih diam mengawasi. Wajahnya tetap seruis namun tenang. Ia mencari-cari sarung tangan dan penutup kepala. Dua suara hati bergerak mengawasi juga. Musik berjalan pelan-pelan.


Suara hati 1: Ya… aku tahu betul siapa-siapa yang ada dalamnya. Seorang janda yang tidak menikah, tiga pelayan dan seorang sopir tua. Ada empat pengawal di luar. Sisanya adalah seorang anak perempuan yang siap menikah.

Suara hai 2: Janda ini hidup dari puluhan mbil yang ia sewakan. Ia menyewakan mobil untuk bisnis pariwisata. Hei, ada mobil masuk. Tak kelihatan siapa di dalamnya.... Hmm, coba kulihat…. Eng, malah pergi lagi? lampu sudah dimatikan. Oke menurutku ini saatnya aku bergegas. Kulakukan seperti biasanya.

Pencuri keluar, dua suara hati tetap di dalam, berpuisi sambil bermusik.dengan Pemusik Agung


Suara hati 1&2: Banyak orang duduk memutar rencana. Dan malam makin hitam, lebih hitam dari kata-kata keji. Lebih sakit dari semua siksa diri. Ooo..kemana hati mengadu saat Tuhan usai mengeja pilihan yang baru? Malam hitam tak terbantahkan. Perbuatan lebih nyata dari semua khayalan picisan. Kenyataan, kenyataan, kenyataan….. Lebih perih, lebih sakit dan lebih mendebarkan dari semua kata tanpa makna. Keroncongan kami menurun, kelaparan kami beranak. Saksikan, saksikan kami mati. Siapa benar siapa salah siapa yang tahu? Tapi aku tahu kalau malam selalu hitam, selalu hitam untuk menutupi dosa manusia.(bergantian, dapat diatur sesuai kebutuhan musik dan gerak)

Semua keluar dengan lembut


Babak II

Kedua suara hati dan pemusik Agung masuk dengan lembut. Gerakan yang halus dan sangat tenang. Pencuri masuk membawa meja dengan berbagai dagangan. Ia hendak membuka warungnya. Masuk dua gelandangandan langsung tidur. Mereka ini ditampung di rumah pencuri yang juga sebuah warung. Lalu pria tua itu mengambil koran dengan berita yang hangat. Ia membacanya serius, dengan kening berkerut sambil sesekali berdecak.. Suara hati 1 dan 2 membacakan apa yang dibaca pencuri tua dengan gerakan lalu mengomentarinya. Isinya seputar berita politik dan masalah sosial yang marak di Indonesia.Sementara itu kedua gelandangan sudah bangun.


Gelandangan 1: Oahm… Kang, pulang jam berapa semalam?

Pencuri: jam dua.

Gelandangan 2: Dapat banyak Kang?

Pencuri: Kalo rumah orang gedongan mah, biasanya gak jauh beda. Lumayan, cukup buat menghidupi warung ini beberapa bulan ke depan.

Gelandangan 1: Kang, sebenarnya kami ini bingung. Kang Sardjo punya anak yang udah jadi insinyur. Udah jadi orang lah istilahnya. Ngapain juga masih mencuri?

Pencuri: Mmm… ini sebenarnya cerita lama. Dulu kakek saya pencuri ulung. Saya kebagian ilmunya itu. Dulu semua serba susah. Kamu pikir dari mana uang untuk menyekolahkan anak saya sampai jadi insinyur? Saya sudah bertahun-tahun mencuri. Dan saya tidak berharap apa-apa dari warung ini. Saya lebih bisa menghargai diri saya sebagai pencuri. Eh, ada apa nak?

Ada anak kecil masuk, mau beli mi instan. Ia tidak punya uang lalu takut-takut berhutang. Setelah tahu boleh berhutang, ia pergi dengan riang.


Pencuri: Lihat kan? Ngarti maksudnya? Bagaimana saya mau berharap pada warung ini?. Banyak orang tidak punya uang. Mereka mesti diutangin. Saya bukannya gak ikhlas, saya ikhlas kok. Cuma banyak perut mesti dikasih makan. Saya menghidupi sebagian besar orang di sini. Yah… itulah hidup. Kamu juga daripada nganggur terus di warung saya mending cari kerjaan sana!.

Gelandangan 2: Ehh… iya juga yah… Kang, kami mau pergi dulu. Sekarang kami mau coba cari rejeki jadi kuli di pasar.

Pencuri: Oh, yaa… sana lah… hati-hati.


Gelandangan exit. Baru mau ia lanjut dengan korannya, pintu menjeblak terbuka. Anaknya datang dengan wajah merah padam.


Anak: Ayah! Ayah melakukan perbuatan terkutuk itu lagi!!

Pencuri: Hei, apa kau bilang?

Anak: Jangan bersilat lidah! Semalam ayah menggerayangi rumah Ibu Rohmah, bukan?

Pencuri: Dari mana kau tahu itu rumah Bu Rohmah?

Anak: Itu calon mertua saya.

Pencuri: Ooo. Jadi kau yang semalam datang mengantarkan anak gadisnya itu ya?

Anak: Kenapa, Yah? Kenapa ayah harus melakukan ini pada calon keluarga kita?

Pencuri: Duduk.


Anaknya mengambil kursi lalu duduk.


Pencuri : Sebaiknya kau tidak usah bicara seperti orang main drama. Saya tidak menolak tuduhanmu dan itu sudah cukup. Dengar dulu… saya masih bicara! Saya tidak kenal mereka ataupun sangkut pautnya dengan kau. Kalau saya mencuri, itu karena ada dorongan untuk terus melakukan itu. Saya…


Pintu diketuk. Kedua Gelandangan masuk membawa anak kecil lain lagi yang ingin beli susu. Lagi-lagi berhutang. Basa-basi sebentar lalu semuanya pergi.


Pencuri: Tak usah kau tanya kenapa saya harus mencuri. Warung ini nyaris tak memberi penghasilan apa-apa. Rata-rata warga desa ini bergantung dari utang yang saya kasih. Utang yang semakin lama semakin bertumpuk.

Anak: Ayah tidak bisa kasih hati pada orang-orang seperti itu! Belum lagi dua orang tadi! Apa untungnya menampung tuna wisma di warung ayah? Mereka harus bisa berusaha dan yang jelas tidak menumpang tinggal tak karuan di sini!

Pencuri: Caranya? Dengan mengusir mereka dengan perut kosong dan tangan hampa? Atau membawa mereka ke kantor polisi? Mungkin benar omonganmu itu, tapi saya cuma tidak mampu melakukannya.

Anak: Bagaimana kalau ayah tertangkap polisi?

Pencuri: Itu memang sudah resiko.Tapi kau harus tahu, saya menghargai kegiatan ini sebagai pekerjaan yang professional dan sempurna. Polisi butuh lebih dari sekedar anjing untuk melacak saya.

Anak: Bisa hancur hidup saya kalau orang-orang tahu ayah mencuri di sana!

Pencuri: Ayolah Tri, saya terlalu ngantuk untuk mengurusi pembicaraan ini.(menghela nafas, menguap)

Anak: Ayah kelihatannya tidak peduli kentingan saya. Tidak memikirkan nasib saya nantinya…

Pencuri: Ha! Kamu pikir bagaimana kamu bisa jadi insinyur sekarang ini? Kamu kira warung mendiang ibumu cukup untuk menyekolahkanmu sampai selesai dan memberimu kehidupan yang layak di bandung sana? Camkan, Nak Itu semua hasil kerja yang kau sebut tadi perbuatan terkutuk!


Anaknya terpana. Mereka diam cukup lama.


Pencuri: Dari mana kau tahu kalau memang saya yang mencuri di rumah hantu blau itu?

Anak: Ibu pernah bercerita kalau ayah mencuri di mana-mana, ayah akan melahap makanan di lemari makanan dan membiarkan piring kotor berantakan di atas meja.

Pencuri: (tertawa) Memang kalau seorang professional berkerja, ia harus meninggalka suatu hal yang menjadi ciri khas.

Anak: Saya sudah tidak mampu lagi menghadapi kenyataan ini.... Sekarang pilih, ayah tetap melakukan pencurian dan kita tidak saling kenal, atau ayah berhenti mencuri!

Pencuri: (terdiam) Itu dua hal yang tidak bisa dijadikan pilihan. Semuanya sangat prinsipil dama hidup saya. Tapi kalau kau begitu memaksa, saya akan memilih yang pertama dengan ikhas. Toh kini kau sudah hidup mandiri. Dan sekarang saya betul-betul lelah dengan pembicaraan ini.


Anaknya bangun dan berjalan lesu ke pintu. Suara hati 1 dan 2 menari pelan di belakangnya dengan iringan musik dari Sang Pemusik Agung. Sebelum ia keluar ayahnya mengatakan sesuatu.


Pencuri: Ini ada sebuah pertanyaan yang tidak perlu kau jawab. Apakah masih ada orang di negeri ini yang TIDAK MENCURI ??

Kita

Kita adalah orang buangan, kaum pinggiran yang
tidak berhak menikmati malam kristal
purnama dan rintik cahaya bintang
hanya sekedar berada, tak kuat bersuara
tak berucap kata meski setidaknya
diizinkan tertawa

kita teman tanpa kata-kata
saling menyentuh lewat uluran mata
seperti lelucon usang
tapi tak dapat dibendung surga

maut yang berjaga dari kegelapan kita hina
dari kedalaman kita mengawasi surga
barangkali Mereka melempar batu untuk dimakan
mungkin juga tumbuh gagasan-gagasan tua
makanan yang hanya bisa dicerna orang-orang gila

yeah! kita tidak mengeluh
tapi perut keronconganlah yang bersuara
sisanya?
cukup menerjemahkan pepatah-pepatah tua

2 September 2009
Jam bacaan rohani

Perang: Manusia dan Kematian Nuraninya

Rabu, 13 Januari 2010

Sejak zaman dahulu kemanusiaan adalah hal tertinggi, mungkin juga hal terakhir yang bisa kita agungkan untuk membedakan diri dengan binatang. Manusia melahirkan pengetahuan. manusia meneliti semesta alam. Manusia menciptakan tata dunia dan teknologi. Manusia adalah kemajuan. Dan pada akhirnya manusia menamakan diri mereka: kemuliaan. Lantas bagaimana mereka mengakhirinya?

Kemuliaan dan kehormatan adalah hal yang dikejar semua orang dengan berbagai cara dan upaya. Dan satu-satunya cara tercepat untuk meraih semuanya itu adalah dengan kekuatan. Bagaimana caranya mamiliki kekuatan itu? Kekuatan diraih dengan dominasi dan agresi. Ketidakmampuan manusia untuk berkata "cukup" telah membawa manusia sampai pada titik terendah kedudukan mereka: kematian akal budi dan hati nurani.

Homo homini lupus. Manusia adalah serigala bagi sesamanya. Dari semua makhluk ciptaan Tuhan, hanya manusia yang saling membinasakan sesamanya. Nafsu untuk mendominasi akhirnya menyeret seluruh dunia ke dalam medan perang yang diciptakan sendiri oleh manusia. Kekuatan yang mereka cari akhirnya hanya menjadi insting binatang yang saling mengoyak dan membinasakan. Perang adalah jawaban dari semua nafsu kemuliaan manusia ini. Manusia hanya terbakar dalam api yang mereka sulut sendiri.

Ilmu pengetahuan berkembang menjadi senjata. Coba kita lihat berapa jenis panser dan senapan yang dikembangkan Hitler selama konflik Perang Dunia II. Berapakah tipe senapan otomatis yang digunakan dan dikembangkan selama perang tersebut? Atau lupakah kita kalau rata-rata negara mengembangkan teknologi persenjataan di bawah pengawasan negara, dengan budget yangbisa memberi makan jutaan rakyatnya? Bukankah semua pengeluaran selama Perang Irak bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat masing-masing negara? Semangat pada diri setiap orang dimanipulasi untuk saling cakar dan cabik antar sesama. Bedanya manusia tidak menggunakan cara-cara konvensional binatang yang menggunakan taring atau cakar. Mereka saling cakar dan cabik dengan gas beracun, mortir dan panser. Mereka tidak ubahnya dari binatang-binatang berteknologi yang sudah tahu cara menekan picu senjata.

Kesakitan manusia yang kalah memaksa mereka untuk memanipulasi mereka yang lebih lemah lagi. Tidak jarang mereka yang tertekan dan kurang sumber daya pertempuran menggunakan wanita dan anak-anak untuk menambal kekeroposan kekuatan. Yang kuat menindas yang lemah. Yang lemah meremuk mereka yang lebih lemah. Begitu seterusnya.

Banyak di antara anak-anak ini kehilangan masa kecil mereka untuk berlatih meletup bedil tepat sasaran. Sinar di mata mereka menyiratkan "semangat" yang dihasilkan dari didikan para pendahulunya. Mereka mengubur (atau lebih tepatnya dikubur) masa depannya dalam api pertempuran dan kesakitan konflik pendahulu mereka. Tak ada bangku sekolah. Tidak ada sepak bola. Tidak ada ulangan atau PR yang mengisi waktu senggang. Yang ada adalah kesiapan untuk membunuh dan dibunuh setiap saat, bagaimana mereka berjalan tanpa menginjak ranjau atau berlari tanpa tertembak.

Pada akhirnya, inikah akhir dari nafsu berkepanjangan ini? Semua kesakitan dan penderitaan inikah yang membuktikan kalau kita manusia ? Dengan apakah sebenarnya kita memaknai kehidupan kita? Bukankah kalau seperti ini kita hanya mengisi kesakitan-kesakitan yang baru dari generasi ke generasi, secara turun temurun? Apakah ilmu pengetahuan, yang selama ini kita cari dan kita gembar-gemborkan demi kemajuan dan kelayakan hidup, malah membuat kita semakin merealisasikan nafsu kebinatangan kita, lebih dari binatang itu sendiri? Pertanyaan ini tidak akan saya jawab. Saya hanya ingin merefleksikan apa yang telah berhasil dicapai dalam peradaban yang katanya semakin maju dan intelek. Semuanya itu membuat kita lupa kalau ilmu pengetahuan yang kita dewakan selama ini tidak digunakan sekadar untuk kenikmatan dan kemajuan. Kenyataannya untuk mencapai semua itu kita menginjak-injak harga diri kita sebagai manusia.







Credo

Selasa, 12 Januari 2010

Credo in unum Deum, Patrem omnipoténtem, factórem cæli et terræ, visibílium ómnium et invisibílium;

Et in unum Dóminum Iesum Christum, Fílium Dei unigénitum, et ex Patre natum ante ómnia sæcula: Deum de Deo, lumen de lúmine, Deum verum de Deo vero, génitum non factum, consubstantiálem Patri, per quem ómnia facta sunt; qui propter nos hómines et propter nostram salútem descéndit de cælis; et incarnátus est de Spíritu Sancto ex María Vírgine et homo factus est; crucifíxus étiam pro nobis sub Póntio Piláto, passus et sepúltus est; et resurréxit tértia die secúndum Scriptúras; et ascéndit in cælum, sedet ad déxteram Patris; et íterum ventúrus est cum glória iudicáre vivos et mórtuos; cuius regni non erit finis;

Et in Spíritum Sanctum, Dóminum et vivificántem: qui ex Patre Filioque procédit; qui cum Patre et Fílio simul adorátur et conglorificátur; qui locútus est per Prophétas;

Et unam sanctam cathólicam et apostólicam Ecclésiam.

Confíteor unum baptísma in remissiónem peccatorum; et expecto resurrectionem mortuorum et vitam ventúri sæculi. Amen.

Mazmur 144

Dari Daud.

Terpujilah TUHAN, gunung batuku, yang mengajar tanganku untuk bertempur, dan jari-jariku untuk berperang;

yang menjadi tempat perlindunganku dan kubu pertahananku, kota bentengku dan penyelamatku, perisaiku dan tempat aku berlindung, yang menundukkan bangsa-bangsa ke bawah kuasaku!

Ya TUHAN, apakah manusia itu, sehingga Engkau memperhatikannya, dan anak manusia, sehingga Engkau memperhitungkannya?

Manusia sama seperti angin, hari-harinya seperti bayang-bayang yang lewat.

Ya TUHAN, tekukkanlah langit-Mu dan turunlah, sentuhlah gunung-gunung, sehingga berasap!

Lontarkanlah kilat-kilat dan serakkanlah mereka, lepaskanlah panah-panah-Mu, sehingga mereka kacau!

Ulurkanlah tangan-Mu dari tempat tinggi, bebaskanlah aku dan lepaskanlah aku dari banjir, dari tangan orang-orang asing,

yang mulutnya mengucapkan tipu dan yang tangan kanannya adalah tangan kanan dusta.

Ya Allah, aku hendak menyanyikan nyanyian baru bagi-Mu, dengan gambus sepuluh tali aku hendak bermazmur bagi-Mu,

Engkau yang memberikan kemenangan kepada raja-raja, dan yang membebaskan Daud, hamba-Mu!

Bebaskanlah aku dari pada pedang celaka dan lepaskanlah aku dari tangan orang-orang asing, yang mulutnya mengucapkan tipu, dan yang tangan kanannya adalah tangan kanan dusta.

Semoga anak-anak lelaki kita seperti tanam-tanaman yang tumbuh menjadi besar pada waktu mudanya; dan anak-anak perempuan kita seperti tiang-tiang penjuru, yang dipahat untuk bangunan istana!

Semoga gudang-gudang kita penuh, mengeluarkan beraneka ragam barang; semoga kambing domba kita menjadi beribu-ribu, berlaksa-laksa di padang-padang kita!

Semoga lembu sapi kita sarat; semoga tidak ada kegagalan dan tidak ada keguguran, dan tidak ada jeritan di lapangan-lapangan kita!

Berbahagialah bangsa yang demikian keadaannya! Berbahagialah bangsa yang Allahnya ialah TUHAN!



Catatan: Saya sangat suka mazmur ini. Ini salah satu dari mazmur Daud yang menggambarkan semangat dan tekad yang menggebu-gebu, namun dibalut dengan kerendahan hati dan kepasrahan kepada Tuhan. Kesemuanya itu dikemas dalam bahasa yang sangat indah dan dalam maknanya. Karena itu, saya pun ingin menyertakan semangat Daud ini ke dalam blog saya. Semoga mereka yang membacanya pun ikut berkobar dalam aliran semangat yang merayapi Daud.

Pasar Minggu

Senin, 11 Januari 2010

mengalir turun dari terminal Pasar Minggu
deru ketiak bau keringat sayur
aroma rindu kerja dan kesah kebisuan.
terik keadaan dan kepala penuh omong kosong.
supir angkutan dan kuli pasar, juru kunci dan mpu sol sepatu
ojek payung waktu hujan, pengamen rambut punk, jilbab dan gincu ibu-ibu
dan bocah cilik kejar setoran

rejeki mondar-mandir sukar dikejar.
malang melintang orang berburu uang.
genangan air selokan merekam peristiwa lintas waktu, lintas nurani.
orang menunggu angkutan di jalanan. jam tangan merek apa saja,
manusia merek mana suka, tergantung di sudut-
sudut jalan, seperti spanduk manusia dengan aneka
kepentingan. kenangan. bau pisang dan pepaya bangkok.
durian dan rambutan berbaris menunggu lamaran pembeli.
pakaian dalam dan peci yang berjibaku di tiap jeda ruas jalan.

dinding-dinding tertawa menelan transaksi.
pempek palembang. karung goni. kalung emas. ember dan wajan.
kesaksian peti-peti telor dan kacang panjang
yang menginap di penjara gerobak sayur.
sampah-sampah berlompatan ke gerobak pemulung.
musik dangdut sepanjang malam, hari, waktu.

kekasih yang merayu di gang sempit
kantong-kantong plastik yang montok berisi.
aku, mencari kekasihku di tempat yang tak pernah kau bayangkan.
kekasih yang tak pernah ada, tapi menunggku selalu.
dalam jam-jam sepi angkutan umum.
di tepi tepi kali yang terus berlalu.
di tempat yang bukan perawan. yang bahkan tak pernah kukenal.
hanya hujan, selokan dan musik dangdut yang tahu jawabnya.


melantur di lab komputer SWB
11-01-2010

Cerita

Minggu, 10 Januari 2010

"Nyanyikan aku cerita dari sungai kehidupan."
Dan kuceritakan kepadanya tentang keringat
tentang biji mata yang lelah dirantang
waktu yang keras sepanjang bulan berjaga dan
cahaya merona. Sepinya hati yang
dibaea lari. Genderang duka yang bertalu-
talu tanpa unsur analisis dan pemikiran.

Di mana tangan meraba di situ maut menjalar.
Sementara mereka berkesah tentang keadaan
yang tak berseni, kau berfilsafat
mereka-reka keadaan seperti pelajaran mengarang.

Di negeri itu bulan mengambang di genangan
darah dan matahari tergentung dalam lampion-
lampion penguasa. Mereka berkaca, tak ada
wajah selain noda-noda yang berlompatan di atas cermin.

"Di mana kamu saat itu?"
Aku duduk menyalakan lilin di depan
jendela rumahku. Mengatupkan tangan. Berdoa.

Orang-orang sibuk mempergunjingkan:
"Siapa yang layak naik ke surga, jiwa atau raga?"
Raga manusia memanggul sejarah dan jiwa yang mengupasnya.
Sementara guru-guru menggambar peta kekuasaan di semua
papan tulis, murid-murid ngeces di belakang,
menulis bait protes dan lirik serak tentang perubahan dengan
air liur mereka

"Lantas bagaimana?"
Bagamana? Aku masih duduk di sini seperti kamu di
sana. Sekali-sekali berkaca di potret masyarakat
yang mengepul di surat kabar.
Sementara itu, sama sepertimu,
aku bingung menerka, menunggu dan menentukan
bagaimana nanti akhir cerita ini.


melantur waktu pelajaran Bahasa Indonesia
19 Oktober 2009

Doa dalam seni, seni berdoa

Rabu, 06 Januari 2010

Sesaat, sebelum posting ini saya memikirkan sesuatu mengenai doa. Judul blog ini sendiri adalah "doa yang berkarat". Sebenarnya tanpa sadar saya memasukkan doa-doa dan harapan saya ke dalam puisi-puisi, semua pemikiran dan apapun yang saya masukkan di sini untuk dibaca. Kalau begitu bukankah doa itu sendiri adalah seni? Doa adalah seni tersendiri untuk berbicara dengan Tuhan, atau bahkan dengan ciptaannya yang lain, sebab semua ciptaan Tuhan adalah cerminan dari wajah dan kreasi Tuhan yang berbeda-beda. Saat kita berbicara, menyatukan hati dengan apapun di alam semesta ini, saya merasa, kalau kita sedang menghubungkan diri kita dengan Tangan Yang Satu itu, tangan yang mengukir semua keindahan dan menghembusnya dengan kehidupan. Dalam titik ini, bukankah keragaman agama pun ikut menjadi seni tersendiri? Saya selalu yakin kalau sesuatu yang disebut seni pastilah memiliki jiwa di dalamnya, jiwa yang senantiasa berpacu mencari Tuhan. Doa adalah seni, dan manusia dibebaskan untuk mengembangkan apapun menjadi seni berdoanya sendiri, sejauh itu tidak malah menjauhkan dirinya sendiri dari Tuhan. Dan saya menemukan bagaimana doa itu berhasil dituangkan ke dalam seni rupa. Ini sedikit contohnya...













Prayer to Saint Michael


Michael the Archangel
by Guido Reni, Santa Maria della Concezione, Rome, 1636


Sancte Michael Archangele,
defende nos in proelio;
contra nequitiam et insidias diaboli esto praesidium.
Imperet illi Deus, supplices deprecamur:
tuque, Princeps militiae Caelestis,
satanam aliosque spiritus malignos,
qui ad perditionem animarum pervagantur in mundo,
divina virtute in infernum detrude.
Amen.


English Translations:

Saint Michael the Archangel,
defend us in battle;
be our protection against the wickedness and snares of the devil.
May God rebuke him, we humbly pray:
and do thou, O Prince of the heavenly host,
by the power of God,
thrust into hell Satan and all the evil spirits
who prowl about the world seeking the ruin of souls.
Amen.

Prayer of Saint Francis


Lord, make me an instrument of your peace;
where there is hatred, let me sow love;
where there is injury, pardon;
where there is doubt, faith;
where there is despair, hope;
where there is darkness, light;
and where there is sadness, joy.
O Divine Master,
grant that I may not so much seek to be consoled as to console;
to be understood, as to understand;
to be loved, as to love;
for it is in giving that we receive,
it is in pardoning that we are pardoned,
and it is in dying that we are born to Eternal Life.
Amen.

Pemandangan Musim Dingin

Selasa, 05 Januari 2010

Ingat Sorin Sorin, si pelukis hebat dari Maldova? Ia membuat lukisan yang sangat indah tentang pemandangan musim dingin. Ini beberapa di antaranya. Indah sekali bukan, bagaimana ia menagkap karakter dan kesunyian bumi yang diliput salju?









Kepada Sang Imam

Seketika cahaya berpendar muram
menanda hari-hari kita
lewat di belakang kita
mengendap, menjadi ampas seperti
pekat kopi di dalam gelas

Kusadar kalau memang
mata tua bijak sang Imam
tak akan berpijar di altar kami lagi
Lagi kini debur ombak
wejanganmu tak akan terdengar pada kali nanti
hanya meninggalkan gema lembutnya
di gua-gua hati kami

Aku memakimu hey Imam
Sebab banyaknya
doamu melelehkan
bebalku. Aku
memakimu!
Aku memaki
karena aku tak
bisa menemukan
alasan membencimu!

Kalau kuhitung jumlah senyummu
dan kuperhatikan doa-doamu, sang Imam,
kusadar kalau itu kunci pembuka
ruang-ruang hati yang terpenuhi kekalutan
Jumlah penghiburan doamu dan
tangan pemberi berkat itu melebihi semua
malam yang kita lewati, kita nikmati...

Dan memang benar sudut mata ini
menyimpan segenap mimpi kami, dikau sang Imam,
pria tua yang menaikkan kami
ke kereta cita-cita kami. Dan kini
ijinkan doa harap kami memberimu sayap
untuk kepergianmu.

Kuharap sungguh ada
cukup penitensi bagi salah durhaka
kami kepadamu, hai Imam tua
maka akhirnya ini
kenangan kita melewati hari berlari
akan kugenggam hingga mati

Selamat jalan sang Imam!
Biar kelak kita bertemu kembali dalam kobaran semangat
di jalan panggilan masing-masing


SWB 30 Juli 2009
NB: sebenarnya puisi ini tidak terlalu bagus. Saya pun tidak terlalu suka, belum lagi teman-teman suka salah kaprah dan kerap menyebutnya Puisi "Imam Tua", meski judulnya bukan itu. Namun okelah karena ini juga untuk perpisahan Romo Heru SJ. Mungkin kalau ada teman-teman yang pernah mendengar saya membacakannya, ada beberapa kata yang tidak ada. Itu karena waktu tampil saya banyak melakukan improvisasi, karena menurut saya puisi ini juga nggak "bunyi". Tapi tetap saja saya bacakan sepenuh hati demi persembahan kepeda Romo Heru tercinta. Tapi kalau saya lihat lagi tetap saja saya tidak terlalu suka...

Lagi-lagi arsitektur aneh!

Senin, 04 Januari 2010

Yak, tadi saya habis berselancar di dunia maya, terus dapatlah gambar-gambar ini...
Unik deh, jadinya saya ambil buat blog. Nih dia...









Kepulangan Gus Dur


Mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, atau yang kerap disapa Gus Dur, menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tanggal 30 Desember 2009 pukul 18.45. Ia dirawat sejak tanggal 26 Desember akibat kondisi kesehatannya yang menurun sejak tanggal 26 Desember 2009. Kepulangannya pun dikarenakan banyaknya penyakit yang dideritanya seperti diabetes, ginjal, stroke dan jantung.

Kepergian Gus Dur menyentak banyak orang. Yah apa mau dikata, semua itu tentu saja tidak mengherankan mengingat banyaknya perbuatan besar yang telah ia lakukan semasa hidupnya.Matanya buta, tapi tidak buta hatinya. Justru orang buta yang sebenarnya adalah orang yang mencibirkan kekurangan fisik Gus Dur tanpa kenal pemikirannya. Gus Dur dikenal sebagai pahlawan multikulturalisme di Indonesia. Ia seorang yang nasionalis dan terbuka, berani ambil tindakan melawan arus dan mempetahankan sebuah kebenaran, terlebih jika itu menyangkut hak asasi dan hidup antar agama.

Di mata saya, Gus Dur lebih dari seorang mantan presiden. Ia seorang guru bangsa yang pemikirannya terbuka, namun tidak menyimpang. Lewat sosok Gus Dur, agama Islam di Indonesia tidak lagi sekadar diwarnai oleh kefanatikan, melainkan Islam tampil lewat kelembutan dan budi yang terbuka mengayomi masyarakat. Gus Dur menjadi sebuah jendela bagi terbitnya perlindungan paham multikulturalisme dan pemikiran Islam sendiri. Ia pun membawa sebuah pemikiran dan keterbukaan hidup. Baginya, Indonesia adalah negara multikulturalisme yang demokratis. Maka sudah tentu Indonesia harus menyoroti kaum minoritas tanpa adanya diskriminasi. Kalau sudah menyebut diri demokratis, bukankah konsekuensinya adalah tidak melakukan diskriminasi?

Gus Dur telah mencetak banyak pemikiran dan tindakan. Kata-katanya tentang perdamaian antar agama bukanlah tinggal di mulut saja, melainkan menjelma dalam perbuatan-perbuatan nyata dan pemikiran yang bermanfaat. Ia memperjuangkan kebenaran dan hak kaum tertindas, dengan jalan sesulit apapun. Ingat ketika ada sebuah gereja yang ditutup di daerah Ciledug bertahun-tahun silam? Saat itu Gus Dur datang dan berbicara kepada masyarakat yang keras. Dengan sikapnya yang seperti itu, tidak heran kaum minoritas mencintai dia.

Sekarang Gus Dur telah berpulang. Namun kita percaya pemikirannya telah merasuk dan dipelajari oleh banyak pihak yang mencintainya. Gus Dur adalah milik Indonesia, dan terlebih, ia milik kaum minoritas pula. Selamat jalan Gus! Semoga doa-doa kami menghiasi kepulanganmu pada Tuhan!

Spider-Man: Web of Shadows

Minggu, 03 Januari 2010


Yak, sekali waktu kami para seminaris pun harus liburan. Nah, dalam kesempatan liburan saya kali ini saya memainkan game yang amat sangat menarik, judulnya Spider-Man: Web of Shadows. Ceritanya tentang kota New York yang mengalami krisis akibat Venom dan simbiosisnya yang menjadi liar dan menginfeksi warga. Sudah tentu jagoan kita Spidey ambil bagian dan beraksi dalam krisis ini. Dalam pertempuran sengit melawan Venom, Webhead malah terkena simbiosis dan akhirnya memiliki kostum simbiosisnya sendiri yang berbeda dan terpisah dengan Venom. Sekarang Spidey memiliki kekuatan dan kemampuan yang luar biasa akibat kostum hitam tersebut. Tetapi, Venom tidak bisa dihentikan dengan mudah. Akibat tindakannya menginfeksi warga, sebagian besar Manhattan terpaksa dijadikan zona isolasi dan warga dievakuasi sebisa mungkin. Simbiosis menjalar dan tumbuh di gedung-gedung pencakar langit seperti pohon-pohon raksasa dan menginfeksi baik teman maupun musuh Spidey. Spidey yang berupaya mati-matian dalam mengatasi krisis ini malah nyaris kehilangan Mary Jane dan jati dirinya sendiri yang mulai dikaburkan kostum simbiosis tersebut. Tertekan dari segala arah, Spidey memutuskan untuk mengakhiri semuanya ini dengan langsung merangsek pokok permasalahan: Venom. Berhasilkah ia melakukan tersebut? Yaa... tentu saja ini tergantung siapa yang main. Namanya juga game. Namun, saya memandang ini lebih dari sekedar game. Ada hal yang berhasil saya dapatkan dan refleksikan di sini. Spidey memang jagoan, tapi bagi saya superhero yang paling manusiawi. Ia mendapatkan kekuatan baru dan sesaat merasa di atas angin dengan kekuatan itu, tanpa tahu bayarannya. Yang saya soroti di sini adalah bahwa manusia sendiri sering takabur dengan kekuatan atau apapun yang baru ia dapat. Kekuatan memang ada, tapi apa gunanya itu semua kalau kita tidak bisa menjaga apa yang benar-benar menjadi prioritas dan malahan mabuk dengan kemampuan kita? Kalimat yang saya sukai dari game ini adalah,"You can't know what control really means until you lose it." Bukankah ini yang sebenarnya terjadi pada manusia? Saya harap kita manusia mulai memikirkan kemampuan kita disertai cara untuk mengontrolnya... Melihat apa terjadi dewasa ini manusia harus lebih sadar akan hal itu...