Jumat, 15 Januari 2010
Babak I
Senja menjelang malam, seorang pria tua berjalan ringan, langkahnya tenang, tidak dibuat. Tatapannya lurus ke depan. Ia melewati kampung-kampung, kebun-kebun tak terawat dan ganggang kumuh. Ia diikuti dua sosok “Suara Hati” dan seorang “Pemusik Agung”. Sosok ini tidak kelihatan tapi melukiskan isi hati pria tua. Yang satu dengan musik yang berjalan pelan dan yang lain dengan puisi.
Pemusik Agung: Malam menyela, bintang menepi. Segenap mata dunia diresah dahaga. Dahaga apa? Dahagamu manusia… oh manusia… (diiringi musik)
Suara hati 1: Aku melewati malam yang membara. Kampung yang merana. Menyelami liku kesakitan manusia Saat bulan bekerja, bintang terjaga, aku…aku… aku melihatnya, melihatnya, melihatnya. Itu, Itu, itu… (antusias)
Suara hati 2: Rumah dengan dua puluh mobil! Terasnya benderang akan cahaya lampion kristal. Malam bersuka di dalamnya. Pesta berbunga di ruangnya. Musik yang menyentak, bertalu, hiruk pikuk dunia dalam nafasnya. (rasional dingin)
Suara hati 1: Hai! Dari sini bisa kulihat segala sudutnya. Kupelajari selama puluhan malam. Kuhabiskan seribu senja mengupasnya. Aku melihatnya, melihatnya, melihatnya! Seluruh rimbun tanamannya, segenap indah perabotnya dan tebal dompet mereka dapat kubayangkan.
Suara hati 2: Tidak usah buru-buru. Aku menghabiskan semua hari mempelajarinya. Aku antusias, tapi tidak bodoh. Menurut pengalamanku, tak ada gunanya beraksi tanpa kesiapan hati. Aku kuat menunggu berjam-jam sekalipun. Naluriku tidak pernah salah. Saat kurasa ada yang tidak beres, aku tak sungkan membatalkan niat yang lama kurancang.
Pencuri masih diam mengawasi. Wajahnya tetap seruis namun tenang. Ia mencari-cari sarung tangan dan penutup kepala. Dua suara hati bergerak mengawasi juga. Musik berjalan pelan-pelan.
Suara hati 1: Ya… aku tahu betul siapa-siapa yang ada dalamnya. Seorang janda yang tidak menikah, tiga pelayan dan seorang sopir tua.
Suara hai 2: Janda ini hidup dari puluhan mbil yang ia sewakan. Ia menyewakan mobil untuk bisnis pariwisata. Hei, ada mobil masuk. Tak kelihatan siapa di dalamnya.... Hmm, coba kulihat…. Eng, malah pergi lagi? lampu sudah dimatikan. Oke menurutku ini saatnya aku bergegas. Kulakukan seperti biasanya.
Pencuri keluar, dua suara hati tetap di dalam, berpuisi sambil bermusik.dengan Pemusik Agung
Suara hati 1&2: Banyak orang duduk memutar rencana. Dan malam makin hitam, lebih hitam dari kata-kata keji. Lebih sakit dari semua siksa diri. Ooo..kemana hati mengadu saat Tuhan usai mengeja pilihan yang baru? Malam hitam tak terbantahkan. Perbuatan lebih nyata dari semua khayalan picisan. Kenyataan, kenyataan, kenyataan….. Lebih perih, lebih sakit dan lebih mendebarkan dari semua kata tanpa makna. Keroncongan kami menurun, kelaparan kami beranak. Saksikan, saksikan kami mati. Siapa benar siapa salah siapa yang tahu? Tapi aku tahu kalau malam selalu hitam, selalu hitam untuk menutupi dosa manusia.(bergantian, dapat diatur sesuai kebutuhan musik dan gerak)
Semua keluar dengan lembut
Babak II
Kedua suara hati dan pemusik Agung masuk dengan lembut. Gerakan yang halus dan sangat tenang. Pencuri masuk membawa meja dengan berbagai dagangan. Ia hendak membuka warungnya. Masuk dua gelandangandan langsung tidur. Mereka ini ditampung di rumah pencuri yang juga sebuah warung. Lalu pria tua itu mengambil koran dengan berita yang hangat. Ia membacanya serius, dengan kening berkerut sambil sesekali berdecak.. Suara hati 1 dan 2 membacakan apa yang dibaca pencuri tua dengan gerakan lalu mengomentarinya. Isinya seputar berita politik dan masalah sosial yang marak di Indonesia.Sementara itu kedua gelandangan sudah bangun.
Gelandangan 1: Oahm… Kang, pulang jam berapa semalam?
Pencuri: jam dua.
Gelandangan 2: Dapat banyak Kang?
Pencuri: Kalo rumah orang gedongan mah, biasanya gak jauh beda. Lumayan, cukup buat menghidupi warung ini beberapa bulan ke depan.
Gelandangan 1: Kang, sebenarnya kami ini bingung. Kang Sardjo punya anak yang udah jadi insinyur. Udah jadi orang lah istilahnya. Ngapain juga masih mencuri?
Pencuri: Mmm… ini sebenarnya cerita lama. Dulu kakek saya pencuri ulung. Saya kebagian ilmunya itu. Dulu semua serba susah. Kamu pikir dari mana uang untuk menyekolahkan anak saya sampai jadi insinyur? Saya sudah bertahun-tahun mencuri. Dan saya tidak berharap apa-apa dari warung ini. Saya lebih bisa menghargai diri saya sebagai pencuri. Eh, ada apa nak?
Ada anak kecil masuk, mau beli mi instan. Ia tidak punya uang lalu takut-takut berhutang. Setelah tahu boleh berhutang, ia pergi dengan riang.
Pencuri: Lihat kan? Ngarti maksudnya? Bagaimana saya mau berharap pada warung ini?. Banyak orang tidak punya uang. Mereka mesti diutangin. Saya bukannya gak ikhlas, saya ikhlas kok. Cuma banyak perut mesti dikasih makan. Saya menghidupi sebagian besar orang di sini. Yah… itulah hidup. Kamu juga daripada nganggur terus di warung saya mending cari kerjaan sana!.
Gelandangan 2: Ehh… iya juga yah… Kang, kami mau pergi dulu. Sekarang kami mau coba cari rejeki jadi kuli di pasar.
Pencuri: Oh, yaa… sana lah… hati-hati.
Gelandangan exit. Baru mau ia lanjut dengan korannya, pintu menjeblak terbuka. Anaknya datang dengan wajah merah padam.
Anak: Ayah! Ayah melakukan perbuatan terkutuk itu lagi!!
Pencuri: Hei, apa kau bilang?
Anak: Jangan bersilat lidah! Semalam ayah menggerayangi rumah Ibu Rohmah, bukan?
Pencuri: Dari mana kau tahu itu rumah Bu Rohmah?
Anak: Itu calon mertua saya.
Pencuri: Ooo. Jadi kau yang semalam datang mengantarkan anak gadisnya itu ya?
Anak: Kenapa, Yah? Kenapa ayah harus melakukan ini pada calon keluarga kita?
Pencuri: Duduk.
Anaknya mengambil kursi lalu duduk.
Pencuri : Sebaiknya kau tidak usah bicara seperti orang main drama. Saya tidak menolak tuduhanmu dan itu sudah cukup. Dengar dulu… saya masih bicara! Saya tidak kenal mereka ataupun sangkut pautnya dengan kau. Kalau saya mencuri, itu karena ada dorongan untuk terus melakukan itu. Saya…
Pintu diketuk. Kedua Gelandangan masuk membawa anak kecil lain lagi yang ingin beli susu. Lagi-lagi berhutang. Basa-basi sebentar lalu semuanya pergi.
Pencuri: Tak usah kau tanya kenapa saya harus mencuri. Warung ini nyaris tak memberi penghasilan apa-apa. Rata-rata warga desa ini bergantung dari utang yang saya kasih. Utang yang semakin lama semakin bertumpuk.
Anak: Ayah tidak bisa kasih hati pada orang-orang seperti itu! Belum lagi dua orang tadi! Apa untungnya menampung tuna wisma di warung ayah? Mereka harus bisa berusaha dan yang jelas tidak menumpang tinggal tak karuan di sini!
Pencuri: Caranya? Dengan mengusir mereka dengan perut kosong dan tangan hampa? Atau membawa mereka ke kantor polisi? Mungkin benar omonganmu itu, tapi saya cuma tidak mampu melakukannya.
Anak: Bagaimana kalau ayah tertangkap polisi?
Pencuri: Itu memang sudah resiko.Tapi kau harus tahu, saya menghargai kegiatan ini sebagai pekerjaan yang professional dan sempurna. Polisi butuh lebih dari sekedar anjing untuk melacak saya.
Anak: Bisa hancur hidup saya kalau orang-orang tahu ayah mencuri di sana!
Pencuri: Ayolah Tri, saya terlalu ngantuk untuk mengurusi pembicaraan ini.(menghela nafas, menguap)
Anak: Ayah kelihatannya tidak peduli kentingan saya. Tidak memikirkan nasib saya nantinya…
Pencuri: Ha! Kamu pikir bagaimana kamu bisa jadi insinyur sekarang ini? Kamu kira warung mendiang ibumu cukup untuk menyekolahkanmu sampai selesai dan memberimu kehidupan yang layak di bandung sana? Camkan, Nak Itu semua hasil kerja yang kau sebut tadi perbuatan terkutuk!
Anaknya terpana. Mereka diam cukup lama.
Pencuri: Dari mana kau tahu kalau memang saya yang mencuri di rumah hantu blau itu?
Anak: Ibu pernah bercerita kalau ayah mencuri di mana-mana, ayah akan melahap makanan di lemari makanan dan membiarkan piring kotor berantakan di atas meja.
Pencuri: (tertawa) Memang kalau seorang professional berkerja, ia harus meninggalka suatu hal yang menjadi ciri khas.
Anak: Saya sudah tidak mampu lagi menghadapi kenyataan ini.... Sekarang pilih, ayah tetap melakukan pencurian dan kita tidak saling kenal, atau ayah berhenti mencuri!
Pencuri: (terdiam) Itu dua hal yang tidak bisa dijadikan pilihan. Semuanya sangat prinsipil dama hidup saya. Tapi kalau kau begitu memaksa, saya akan memilih yang pertama dengan ikhas. Toh kini kau sudah hidup mandiri. Dan sekarang saya betul-betul lelah dengan pembicaraan ini.
Anaknya bangun dan berjalan lesu ke pintu. Suara hati 1 dan 2 menari pelan di belakangnya dengan iringan musik dari Sang Pemusik Agung. Sebelum ia keluar ayahnya mengatakan sesuatu.
Pencuri: Ini ada sebuah pertanyaan yang tidak perlu kau jawab. Apakah masih ada orang di negeri ini yang TIDAK MENCURI ??
0 komentar:
Posting Komentar