Minggu, 10 Januari 2010
"Nyanyikan aku cerita dari sungai kehidupan."
Dan kuceritakan kepadanya tentang keringat
tentang biji mata yang lelah dirantang
waktu yang keras sepanjang bulan berjaga dan
cahaya merona. Sepinya hati yang
dibaea lari. Genderang duka yang bertalu-
talu tanpa unsur analisis dan pemikiran.
Di mana tangan meraba di situ maut menjalar.
Sementara mereka berkesah tentang keadaan
yang tak berseni, kau berfilsafat
mereka-reka keadaan seperti pelajaran mengarang.
Di negeri itu bulan mengambang di genangan
darah dan matahari tergentung dalam lampion-
lampion penguasa. Mereka berkaca, tak ada
wajah selain noda-noda yang berlompatan di atas cermin.
"Di mana kamu saat itu?"
Aku duduk menyalakan lilin di depan
jendela rumahku. Mengatupkan tangan. Berdoa.
Orang-orang sibuk mempergunjingkan:
"Siapa yang layak naik ke surga, jiwa atau raga?"
Raga manusia memanggul sejarah dan jiwa yang mengupasnya.
Sementara guru-guru menggambar peta kekuasaan di semua
papan tulis, murid-murid ngeces di belakang,
menulis bait protes dan lirik serak tentang perubahan dengan
air liur mereka
"Lantas bagaimana?"
Bagamana? Aku masih duduk di sini seperti kamu di
sana. Sekali-sekali berkaca di potret masyarakat
yang mengepul di surat kabar.
Sementara itu, sama sepertimu,
aku bingung menerka, menunggu dan menentukan
bagaimana nanti akhir cerita ini.
melantur waktu pelajaran Bahasa Indonesia
19 Oktober 2009
0 komentar:
Posting Komentar