Selasa, 08 November 2011
aku teringat pada sore di pinggir lapangan,
Dunia ini penuh omong kosong seperti puisi yang kubuat. Dunia ini sarat kepedihan, seperti hatiku sebagai manusia. Namun hidupku tak putus berharap bahkan saat jawaban tak ada lagi.
aku teringat pada sore di pinggir lapangan,
kamu baru datang dari
kalau dipikir
sekali lagi, aku tak pernah
membuat puisi untukmu
padahal selama ini kita
duduk dan bercengkerama
tentang aneka macam hal yang hanya dapat
kukisahkan padamu
dan saat malam merajut sepi
aku bersiap pulang sendiri,
namun kutemui kamu dengan gaunmu
terduduk dalam kilau dan sahaja
seorang sahabat
seorang wanita
duhai gadis
kurentetkan batu yang menyumpalku padamu.
kutumpah padamu lelah yang membuatku
ingin lari dan memaki. tak kuhitung waktu berlalu,
hanya wajahmu
malam itu memaku singgah mataku
hai Dewi
bungaku, kutulis memori ini
pada malam penuh deru
pada saat hatiku mulai jadi batu cadas
agar bisa selalu kukenangkan:
Aku cinta padamu !
19-8-2011
Bung,
aku berkaca sekali lagi dan memastikan
anjing yang sama masih
menatap keji dari dalam cermin.
wajahnya luka dan matanya buta
namun melankoli meski tak menyembunyikan
taringnya. seperti kasihan ia, pada manusia yang tak
tahu kalau sudah lama kehilangan wajah
untuk dipandang di dalam cermin
dari ufuk terdengar syahdu
doa-doa terbaca. bercampur dengan gonggongan
dan pekik orang mati tercekik.
sekali lagi ia menatapku dengan matanya
yang buta, penuh ironi, karena aku tak punya
cukup alasan untuk lari.
binatang itu terbatuk sekali
memuntahkan sesuatu yang seperti sisa makanannya
tadi pagi. ia menyeringai seperti mau berbagi
pada manusia yang sudah lama kehilangan
alasan keinginan untuk makan.
akhirnya, karena aku tak punya wajah
untuk kuekspresikan padanya,
ia menggonggong pada makluk malang itu
dan lari menuju matahari terbenam,
meninggalkan aku yang retak dan kosong,
berserakan di atas tumpukan bankai
lainnya
11 Agustus 2011
puisiku untuk dunia
tak tau aku apa boleh aku legar menyala
bepacu deru, telusup awan dan pijar matahari
tekuk gunung-gunung, ratakan bukit jurang-jurang
berlari-lari berapi, tidakkah kan ku kehilangan
detak jantung meriam, cepat atau lambat?
kalau ku bersabar menulis puisi
setiap nadanya, tintanya, pada biji-biji gugur hujan
pada daunan yang lelah
kalau ku duduk tertekuk mencumbui tanah
dan lumut, dapatkah kutemui cinta dan pelepas air mata
tak sanggup ku membayang sepi
tanpa tawa dan puisi, atau bumi berhenti
tanpa ku berlari dan berapi
mendetak meriam yang kuletup
karena ingin menyerbu pertarungan!
April 2011
sebelum kita menjadi tua, ingin kubicarakan lagi
denganmu, cita-cita itu. yang kulukis bersamamu di
di sepinya langit dengan tawa dan gelegak antusias yang kita
tumpahkan bagai lukisan.
Ingin kulagukan harapan ini, sekali lagi
sebelum kita menjadi tua. agar kamu tak kelak lupa kalau
kita pernah berbicara, berceloteh deras lebih dari sekadar
idealisme. lebih dari sekadar tak pasti yang tinggal gurau belaka.
Kupuisikan tentang jalan yang kau pilih. tentang langkahku yang memberat
dan kian terluka. tak mampu mengejarmu karena langitku menderas,
napasku berhamburan bergelimpangan.
tak mampu lagi mengejarmu,
bersanding dengan gelak tawamu yang menjadi penghiburan seumur hidupku.
betapa malam, kutunggu kamu
menanti kesempatan membacakan puisi ini padamu
meneriakannya ke langit biru.
agar kamu tahu aku masih mengingat warna yang kau lukis
bersamaku.
kini hanya sepi menghiasi tembok-tembok kotaku.
di jalan-jalan, kulihat lukisan.
di dinding-dinding, warna-warna dan pola mendiami.
namun bukan lukisanmu, bukan warna matamu yang
kau torehkan, membentuk puisi-puisi yang kau lukis
di ingatanku.
betapa puisi ini untukmu
adalah tanda bahwa sampai hari ini,
aku belum bosan melukis wajahmu.
sampaikan pada hujan, kali ini aku tak akan
menunggunya datang.
setelah tinta-tinta puisiku mengering dan bisu
aku tidak lagi butuh dirinya untuk mendiskusikan prosaku
pada kertasku, tetap halaman putih.
yang basah oleh hujan yang berusaha meresapi baris-barisnya.
biarlah, toh saat aku pergi -- setiap saat aku ingin lari,
kau tetap mengiringi. menjadi dingin yang membasah kain sepatu
menjadi rayu yang menghibur lalu
dalam sepi ini
Laki-laki itu bicara dengan hujan.
sudah berjam-jam ia duduk dan berkomat-
kamit pada derai langit yang menelusup pori-pori,
membasahi matanya yang tak awas lagi.
perjalanan tak membuatnya lelah
meski ia jadi merasa tua seketika.
luka-lukanya tak membuatnya lemah.
namun tak jarang ia berkesah pada tetes darah
yang mewarnai jejaknya.
sampai di mana kini?
pengembaraan membawanya ke nadi-nadi bumi.
ke jantung laut, ke perut neraka.
di mescusuar-mercusuar.
di menara-menara kota.
di toko-toko senjata.
di medan-medan laga.
tapi tak sekalipun ia merasa sampai di mana-mana.
ke mana pun ia pergi hujan selalu tampak sama,
seperti hujan yang ia ajak bercengkerama
sore ini.
matahari tetap sama warna.
senja tak berhenti membara.
dan manusia tak berhenti nestapa.
mungkin esok, lusa, dan waktu yang akan datang
perjalanan akan berakhir.
tapi tidak hari ini, bukan kali ini.
"selama matahari masih menyinari,
dan langit menaungi kepala ini,
jasadku menolak untuk berhenti."
Februari 2011
Kapiten, lelaki sejati duduk sendiri dinaung sepi
apa entah isi hatinya, menelan masa lalu
meresah apa seakan tersenyum sendiri
mengeluhkan apa pada dinding retak kamarmu
lumpur medan laga beribu di bawah kakimu
musuh macam apa jua berlutut padamu
kakimu tegak berlari menerjang, menjagal
dadamu terpasang bintang-bintang, dan luka-luka peluru
kini menunggu waktu berlalu di jendela kamarmu
ditinggalkan laskar yang kau pimpin
dibuang atasan yang kau abdi
meski bukan karena durhaka
medan laga memujamu
namun dunia tak siap memilikimu
lantaran terlampau perkasa engkau bagi mereka.
dibuang benteng yang kau lindungi
bagaimana rasanya?
semoga kuat hatimu menyaksikan
laskarmu berlari setiap pagi dari jendela.
yang tersisa untukmu, bendera itu
dan sekadar cerita masa lalu
Kapiten, menutup buku catatannya
mengubur semua medalinya dan
mengisi peluru lagi
lalu pergi ke medan laga yang baru
sendiri
terpejam aku membayangkan wajah itu
erat tercekat di dada tapi tetap tak bisa hilang
buailah dalam malam, jadilah inspirasi, sesaat pun tak apa
aku ingin melukismu, wajah tanpa warna itu
pada garis rintik tinta ini, tersenyumlah
jadikan aku berdegup menggores nafasmu
melukis langit yang terpancar di wajahmu,
gugus-gugus bintang pada matamu biru
jangan pergi sebelum pagi
jangan beranjak sebelum kuselesaikan
wajahmu yang mengandung malam ini
yang mengalunkan sinfoni sunyi sepi
yang selalu jauh dari damai hati
setelah kuselesaikan ini, simpanlah
jangan angap ini semacam tanda cinta
tapi bawalah sebagai hadiah menemaniku
malam ini
Saya sudah lama sekali gak pernah ngepost di sini lagi. Saya gak mau ngeles, tapi ya emang ada sebabnya. Antara lain karena sekarang saya jarang dapat ilham untuk menulis dan ngepost gambar. Gak tau juga, tapi memang sekarang isi kepala saya lebih tenang. TERLALU tenang malahan, sampai belum ada lagi inspirasi untuk menulis atau niat untuk ngepost gambar. Mungkin sebenarnya yang membuat orang jadi niat berkarya itu justru karena adanya gejolak. Kalau hidup terlalu tenang malahan jadi tumpul hati dan pikirannya. Bener gak sih? Nggak ya? Ya udah. Okelah, kalau kepanjangan nanti jadi ngeles, jadi sebaiknya saya ngepos dulu gambar teman saya Andes ini. Gambar ini mengawali minat saya untuk menggambar wajah teman-teman saya. Sebelum ini sebenarnya juga ada, tapi gak pernah discan karena langsung dikasih orang. Yang lain nanti menyusul.
|