Selasa, 22 Desember 2009
Cerita yang terjadi saat saya kelas satu di seminari ini boleh dipercaya boleh tidak, yang jelas saya tidak berbohong. Cerita ini sedikit aneh, sedikit tidak jelas, sedikit sulit dipercaya, sedikit garing, sedikit puitis dan vulgar (kali) juga sedikit aksi (bohong, deng!) tapi yang jelas banyak refleksinya. Tapi kalau mengenai isinya sih… umm… yah, baca sendiri lah, daripada semakin bertele-tele!
yahdan, pada malam pucat tanpa bintang, hati ini terbakar dalam gelora jiwa yang berduka. Rindu makin panas. Sepi menghantui. Duka menguliti hati dan rasa dada sesak oleh air mata yang tak dapat ditumpahkan pada pelukan hangat siapapun juga. Dalam kesedihan yang mencakar-cakar dinding nurani, tidak ada jalan selain mengirimkan semua lara ke perut Tuhan. Dan untuk itu, diperlukan merpati pos khusus yang bernama DOA.
Pada sepinya angin malam, aku keluar dan berjalan mengitari lapangan basket, mengirimkan segenap sakit hatiku pada Tuhan agar Ia memelukku dengan cinta-Nya. Biji-biji rosario bergulir di tanganku, menjadi ganti bagi air mata tidak dapat kuteteskan sepanjang hari-hariku yang lampau. Aku berbicara dengan hatiku, dengan Tuhanku, dengan malamku dan apapun yang menyertai aku berdoa malam itu. Terisak tanpa suara. Tersedu tanpa kata-kata. Menangis tanpa air mata. Berdoa. Sendirian.
Terus aku berjalan mengelilingi lapangan malam itu. Berjalan bersama doa-doaku semakin dalam ke dalam gundah hatiku. Angin dingin menampar kesedihan. Hitam malam memeluk sepiku. Dan suara kasar, mengerang-erang, mendesah-desah me… Hah?! Apa yang… ?! Dan ketika aku mendengar itu, bubarlah konsentrasiku, pecah doaku dan yang tersisa tinggallah bingung tidak keruan. Oke, sudah cukup puitis-puitis nggak jelas dalam tulisan ini. Taruhan, kalian tidak akan menyangka apa yang saya dengar pada malam itu. Mau tahu? Lanjut ceritanya!
“Salam Maria penuh rahmat, Tuhan sertamu…”, saya melanjutkan doa, mengumpulkan konsentrasi, berusaha kembali menghayati seperti semula.
“Ohh… Ahh… Ahahahaahh…hahahhhh…ahaha…!” (Suara wanita, tidak jelas dia tertawa atau apa, yang jelas ini jeritan panjang yang sangat kencang dan nadanya tinggi. Suara wanita ini tidak hanya satu)
“Hahahahaha… hahh…ahhh… hahahaha…!” (Suara laki-laki yang lebih berat. Seperti teriakan yang keras dan sama dengan yang wanita, tidak jelas tertawa atau apa. Suara ini pun lebih dari satu.)
Saya berusaha mengabaikan semua pikiran aneh dan terus melanjutkan doa. Tapi ternyata ini tidak semudah kelihatannya. Suara-suara ini semakin kencang, semakin berat dan lambat dan lama-lama semakin kedengaran tidak “sehat”. Samar-samar saya mendengar kalau mereka memang memperbincangkan sesuatu sambil tertawa-tawa, berteriak-teriak, mendesah-desah, tapi semua ini diucapkan dengan tidak jelas karena terlalu cepat meski suara mereka sangat keras dan membuat keributan.
Sambil berdoa, saya melacak asal suara tersebut. Ternyata asalnya dari salah satu rumah yang ada di balik pagar seminari. Saya mengalihkan perhatian ke pos satpam, yang dari tadi tidak bereaksi dengan “keganjilan” ini. Hmm… wajar saja mereka tidak terganggu. Ternyata teman-teman saya ini menyetel sebuah radio yang memutar musik dangdut dengan volume super mentok, jadi suara-suara ini juga tidak mengganggu. Atau jangan-jangan mereka sudah tidak asing dengan hal tersebut? Ah, tak tahu juga lah!
Mau tidak mau saya pun menyelidiki hal ini setelah menyelesaikan doa yang tidak bisa saya resapi. Suara itu datang dari arah kompleks perumahan di sebelah seminari. Saya memastikan rumah yang mana yang mengeluarkan suara-suara tersebut, karena memang ada banyak rumah di belakang pagar tersebut. Setelah yakin saya dengarkan lagi apa yang tengah berlangsung di sana.
“ Ahh… hahahahh… haah… ¥Fފސޓބޠޤވޗޱ1)… hahahahh… ahh…. Hahaha…..”
“Uahahahaahhh… ahh… ahh…ehhhaahh…hahahaha… !”
“Hahh….ahh…. heehhh….........Ahhh…”
“Uahahaha…. ×ஒமஜF\.... Ini bukan bir bintang…. INI BIR BARANG…! Uahahahahh…hahahaha....hahaha...”
Kalimat terakhir itu saya dengar dengan amat sangat jelas. Setelah mengucapkan itu mereka semua tertawa liar serabutan macam orang sakit jiwa. Setelah itu sulit bagi saya untuk mendengar kelanjutannya karena mereka kembali berteriak-teriak tidak jelas. Yah… bukannya sok tahu tapi kok rasanya dari kalimat terakhir itu saya merasa berhak untuk berpikir yang aneh-aneh. Aneh-aneh? Yah… tak tahu lah!
Mmm… gimana ngomongnya ya? Baik, saya anak Jakarta, sudah sering mendengar kelakuan-kelakuan gila remaja di luar sana. Kasus-kasus yang jamak jadi naskah pembawa cara berita di TV seputar kenakalan remaja pun bukan hal yang asing juga. Tapi kalau mendengar sendiri yang macam itu, terus terang saja, belum pernah. Memang setelah itu pun mereka belum selesai, tapi berhubung nyamuk semakin banyak dan hari semakin larut, saya pun pergi tidur sambil merenung-renungkan pengalaman yang @#$%+! 2) ini.
Sampai di kamar pun bingung belum habis, heran belum hilang. Sayup-sayup masih terdengar suara “ahh-haahh-ahhh…” dari jauh. Sinting. Ternyata dari dalam Unit 1 satu pun terdengar juga. Saya periksa wajah teman-teman saya. Ada cengar-cengir, ada yang ngiler, ada nggak jelas ekspresinya, tapi yang mereka semua tidur pulas. Dasar kebo! Biarlah. Besok saya punya cerita untuk mereka. Cerita bahwa di luar sana terjadi banyak hal yang belum kita duga sebelumnya. Cerita bahwa dunia ini masih menyimpan banyak hal yang asing, yang aneh, yang sulit dipercaya, tapi kenyataan. Cerita yang membuktikan bahwa kita adalah segelintir orang berjuang melawan ombak kesenangan dan kegalauan hidup di jalan panggilan. Yah… itulah…
1) Ini maksudnya kata-kata yang tidak terdengar jelas, tapi keras sekali.
2) Silakan isi dengan istilah apa saja yang menurut anda mengena, seperti absurd, ganjil, dsb.
0 komentar:
Posting Komentar